Wikipedia

Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang keturunan Jawa pada tahun 1659, dan dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.

Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Cina, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.



Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan[2] disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang bernama Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahitpada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman. Begitu juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebutkan Palembang sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.

Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).


Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.

Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate. Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.